Budaya Sunat Perempuan atau Female Genetalia Mutilation (FGM), Praktik yang Melanggar Hak Asasi Perempuan?

Mahasiswa S2 Magister Sains Psikologi di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Krisma Aulia. Foto-Istimewa

Oleh: Krisma Aulia 


Latar Belakang


Sejak awal sejarah, umat manusia telah mengembangkan berbagai praktik yang berkaitan erat dengan tatanan sosial, agama, dan tradisi tertentu. 


Selama bertahun-tahun, banyak dari praktik tersebut memiliki efek yang berbahaya. Sebagian manusia secara bertahap meninggalkan, namun di sisi lain banyak yang masih mempertahankannya. 


Salah satu yang masih bertahan yaitu praktik sunat perempuan atau Female Genetalia Mutilation (FGM).


Tidak ada bukti konkrit yang menunjukkan dari mana sunat perempuan pertama kali berasal dan bagaimana awalnya dilakukan. 


Perempuan yang di sunat telah ditemukan di Mesir Kuno. 


Herodotus, seorang Sejarawan Yunani, pada saat ia mengunjungi Mesir pada pertengahan abad ke-5 SM, ia menemukan bahwa orang Mesir telah mempraktikkan sunat baik pada laki-laki maupun perempuan.


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memiliki laporan tahunan mengenai masalah ini di negara-negara di Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. 


WHO memperkirakan bahwa sekitar 140 juta anak perempuan dan wanita di seluruh dunia hidup dengan konsekuensi dari FGM. 


Hampir selalu dilakukan pada anak di bawah umur dan merupakan pelanggaran terhadap hak anak-anak. 


Praktik ini juga melanggar hak seseorang atas kesehatan, keamanan dan integritas fisik, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, dan hak untuk hidup akibat prosedur yang mengakibatkan kematian.


Analisis Teori


1. Terminologi

Praktik sunat perempuan telah disebut dengan banyak nama yang berbeda. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan studi awal mereka tentang praktik ini menggunakan pendekatan antropologis, dengan mengadopsi istilah "sunat perempuan," yang juga diadopsi oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. 


Namun, banyak yang percaya bahwa istilah ini memaklumi dan "menormalkan" praktik tersebut, sehingga sebanding dengan sunat laki-laki yang diterima secara luas. Pada pertengahan 1970-an, aktivis feminis menekankan tentang konsekuensi dan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh tradisi ini bagi penerimanya. 


Oleh karena itu, agar lebih diterima, mereka mulai menggunakan istilah "mutilasi". 


Sejak tahun 1990-an, “mutilasi alat kelamin perempuan” (FGM) telah diterima secara luas. Definisi formalnya saat ini adalah “semua prosedur yang melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin bagian luar atau melukai organ genital wanita untuk alasan non-medis”.


Dengan ditetapkannya definisi FGM yang diterima secara internasional, kemudian muncul beberapa klasifikasi FGM berdasarkan Tingkat keparahan luka, yaitu: 3 

Tipe 1: Hanya pengangkatan preputium atau pengangkatan preputium ditambah pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris (juga disebut klitoridektomi)

Tipe 2: Pengangkatan klitoris ditambah sebagian atau seluruh labia minora (eksisi)

Tipe 3: Pengangkatan sebagian atau seluruh labia minora dengan menjahit labia mayora bersama-sama, menutupi uretra dan vagina dan meninggalkan lubang kecil untuk buang air kecil dan menstruasi (infibulasi)

Tipe 4: Semua tindakan berbahaya lainnya pada alat kelamin perempuan untuk tujuan non-medis termasuk menusuk, menusukkan, mengiris, menggores dan membakar


2. Epidemiologi


Menurut Organisasi Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization), setiap tahun, setidaknya 2-3 juta wanita terlibat kasus FGM, dengan rata-rata 4 perempuan di setiap menitnya. 


Diperkirakan bahwa lebih dari 6000 wanita sudah menjalani praktik FGM di setiap harinya.


Menurut laporan UNICEF di Indonesia, pada tahun 2013, terdapat beberapa daerah di Indonesia yang prevalensi sunat perempuan tergolong tinggi. 


Daerah-daerah tersebut adalah Gorontalo (83,7%), Bangka Belitung (83,2%), Banten (79,2%), Kalimantan Selatan (78,7%), dan Riau (74,4%). 


Terdapat daerah yang masih melakukan sunat perempuan, tetapi prevalensinya tergolong rendah, yaitu NTT (2,7%), Papua (3,6%), Bali (6%), Yogyakarta (10,3%), dan Papua Barat (17,0%)


3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Sunat Perempuan atau FGM


- Multikulturalisme : Tradisi dan identitas budaya lokal umumnya merupakan alasan berlangsungnya sunat perempuan di berbagai tempat di dunia

- Faktor Agama: Agama merupakan salah satu faktor terbesar yang menyebabkan sirkumsisi perempuan di Mesir berlangsung dari generasi ke generasi. 


Pedoman hadist tentang sirkumsisi perempuan yang dipegang teguh oleh masyarakat, tidak bisa dipungkiri lagi sebagai pemicu tetap berlangsungnya tradisi sirkumsisi perempuan. 


Kepercayaan bahwa sirkumsisi perempuan adalah bagian dari syariat Islam merupakan faktor penentu sirkumsisi perempuan. 


Pada kenyataannya jika dilihat dari sejarah sirkumsisi perempuan memang bukan warisan dari Islam. Sirkumsisi perempuan sudah ada sebelum munculnya Islam. Islam memperjelas efek negatif yang serius dari praktik FGM yaitu menyebabkan bahaya fisik dan psikologis yang signifikan terhadap anak perempuan dan perempuan. Melukai diri sendiri atau orang lain dalam bentuk apa pun sangat dilarang, sehingga diperlukan tindakan untuk menghentikan tradisi yang berbahaya ini. Dengan demikian, menjadi kewajiban agama untuk mengatakan dengan tegas bahwa praktik FGM saat ini dilarang dalam Islam.


Studi kasus oleh Rachmah dan Saud pada tahun 2020 mengenai sunat Perempuan pada Masyarakat Madura, menemukan bahwa dalam masyarakat tradisional, sunat perempuan masih dilakukan karena adanya kepercayaan bahwa sunat adalah hal yang wajib (Syariah) dalam Islam. 


Para perempuan di Penelitian tersebut konsisten dengan mengatakan bahwa sunat identik dengan Islam, kesucian, dan menjadi orang Madura. 


Oleh karena itu, mustahil untuk menghilangkan praktik tersebut. 


Pandangan diskriminatif bahkan dilontarkan oleh para perempuan, dengan salah satu dari mereka mengatakan “Perempuan yang tidak disunat tidak dianggap sebagai Muslim”. 


Informan lain juga menyatakan bahwa jika perempuan tidak disunat, maka shalatnya tidak diterima, dan tidak diperbolehkan shalat di masjid. 


Penafsiran yang keliru terhadap keyakinan ini telah menimbulkan diskriminasi bagi mereka yang tidak disunat. 


Akibatnya, perempuan yang tidak disunat memilih untuk tetap diam dan tidak berbicara di depan orang lain atau publik, karena mereka takut didiskriminasi oleh Masyarakat.


- Faktor Kesehatan : Dalam aspek medis, Peneliti Abdur Rahman menjelaskan bahwa masyarakat mempunyai keyakinan bahwa sirkumsisi pada perempuan memberikan manfaat bagi kesehatan terhadap perempuan yang bersangkutan. Manfaat kesehatan yang diyakini masyarakat yaitu sirkumsisi pada perempuan akan menambah kesuburan, sirkumsisi perempuan dapat memperlancar proses persalinan, perempuan yang tidak disirkumsisi akan menyakitkan bagi suaminya ketika berhubungan seksual, perempuan yang tidak disirkumsisi dapat membuat suaminya impotensi, dan sirkumsisi bagi perempuan dapat menjadikan alat kelaminnya bersih dan membuat tubuh sehat. Namun sebenarnya sunat perempuan memiliki Dampak negatif baik jangka pendek maupun Panjang. 

Dampak jangka pendek: Perdarahan, Infeksi organ panggul, tetanus. gangrene, syok, retensi urin 

Dampak jangka Panjang: Nyeri saat berhubungan seks, infeksi saluran kemih kronis, dan abses


Apakah FGM merupakan pelanggaran HAM?


FGM dalam segala bentuk, sudah diakui internasional selaku pelanggaran pada perempuan (HAM), praktik FGM ini menyangkut hak pada anak perempuan dan perempuan atas


Pengalaman Psikologis Perempuan yang di Sunat/ FGM


Beberapa penelitian mengenai psikologis seputar praktik sunat perempuan/ FGM telah dilakukan. 


Penelitian oleh Johansen (2002) menganalisis pengalaman rasa sakit akibat sunat yang di alami oleh perempuan di Somalia. 


Sebagian besar perempuan menggambarkan sunat atau pemotongan itu sebagai pengalaman paling menyakitkan yang pernah mereka alami. 


Ungkapan seperti “kegelapan dalam hidupku”, '”rasa kehilangan baik tubuh maupun jiwa”, dan “beban berat yang akan selalu kupikul”menunjukkan tekanan psikologis. 


Para suami dari perempuan yang diinfibulasi ini menggambarkan tidak hanya rasa sakit fisik yang mereka alami sendiri, yang diakibatkan oleh luka yang diderita selama penetrasi dalam hubungan seksual, tetapi juga trauma emosional mereka yang diakibatkan oleh rasa sakit yang mereka sebabkan kepada istri mereka.


Kesedihan dan kecemasan adalah emosi negatif yang paling sering disebutkan dan dikaitkan dengan pengalaman komplikasi dari prosedur sunat pada perempuan. 


Sering kali perempuan tidak mengetahui mengenai komplikasi pada kesejahteraan fisik mereka akibat sunat. 


Emosi negatif lainnya yaitu seperti penyesalan dan perasaan trauma, juga disebutkan terkait dengan komplikasi sunat perempuan.


Namun menurut penelitian Omigbodun dkk, Masyarakat Afrika menyatakan pengalaman psikologis positif  dari sunat perempuan, di mana pada masyarakat Afrika identitas tidak bersifat individualis seperti di banyak negara Barat, tetapi didasarkan pada kepemilikan kelompok yang lebih besar yang disebut “identitas kolektivis”


Dalam budaya di Afrika dimana sunat perempuan /FGM dipraktikkan, mereka yang menjalani prosedur tersebut langsung diinisiasi menjadi dewasa. 


Mereka mengembangkan rasa percaya diri dan kebanggaan dan dianugerahi rasa hormat cukup besar. 


Perempuan yang tidak menjalani sunat tidak dihormati sebagai orang dewasa di masyarakat dan dikecualikan dari posisi kepemimpinan, diperlakukan sebagai orang yang najis, tidak dapat dinikahi, dan tidak bermoral. 


Dalam penelitian Omigbodun dkk ini juga menyatakan bahwa persepsi dan emosi yang disebabkan oleh prakitik sunat perempuan/ FGM tampak dalam pengalaman psikologis yang dirasakan oleh gadis-gadis dan Wanita Izzi, Nigeria Tenggara. 


Baik pengalaman psikologis positif maupun negatif dikaitkan dengan sunat Perempuan/FGM. Dengan melakukan sunat Perempuan/ FGM maka perempuan di sana akan terbebas dari rasa malu dan hinaan karena tidak disunat, rasa memiliki, penerimaan dari teman sebaya, dan peningkatan status sosial secara langsung di masyarakat.


Peran WHO dalam Isu Female Genital Mutilation


Secara medis, sunat perempuan memiliki dampak negatif, seperti menyebabkan rasa sakit, pendarahan, infeksi yang mempengaruhi kesuburan, tetanus, anemia, dan masalah psikologis. 


Karena kondisi tersebut, WHO menyatakan bahwa tenaga kesehatan dalam situasi apapun dan di mana pun dilarang melakukan sunat perempuan. 


Masih menurut WHO, sekalipun dilakukan oleh tenaga kesehatan, sunat perempuan adalah bentuk penyiksaan. 


Berbagai pihak juga menganggap sunat perempuan termasuk ke dalam kekerasan terhadap perempuan karena terkait dengan tidak adanya informed consent, tekanan patriarkal, dan berkaitan dengan penderitaan serta dampak yang ditimbulkan


Kesimpulan


Berdasarkan tulisan ini dapat di simpulkan bahwa konstruksi sunat perempuan merupakan realitas yang dibentuk dan diterima oleh masyarakat mengenai tradisi yang diturunkan secara turun-temurun sehingga bersifat wajib untuk dilakukan. 


Keberadaan sunat perempuan menjadi suatu bentuk atau hipotesis yang berlaku di masyarakat. Namun dalam perspektif agama dan medis, praktik sirkumsisi terhadap perempuan kurang direkomendasikan, karena dalil agama tidak secara tegas menyetujuinya. 


Begitu pula dengan analisis medis yang menegasinya karena praktik tersebut dianggap membahayakan. 


Dalam konteks hak asasi manusia, penting untuk merefleksikan kembali definisi perempuan. 


Saat kita menganggap perempuan adalah manusia yang harus dimanusiakan, seyogianya kita menghormati seluruh haknya tanpa sekalipun ingin mencederai bahkan membahayakan nyawanya. 


Maka dalam konstruksi sirkumsisi perempuan, dimensi medis menjadi hal yang signifikan dalam mengolah fatwa dan pemikiran keagamaan, karena bagaimanapun praktik ini menyangkut juga keselamatan Perempuan.


Dari perspektif psikologi, perasaan sedih dan cemas adalah emosi negatif yang paling sering disebutkan dan dikaitkan dengan pengalaman komplikasi dari prosedur sunat pada perempuan. Namun di beberapa bagian negara di dunia, akibat dari stigma masyarakat yang mengharuskan sunat perempuan, perempuan merasakan dampak psikologi positif setelah melakukan sunat. Karena mereka merasa terbebas dari rasa malu dan hinaan karena tidak disunat, rasa memiliki, penerimaan dari teman sebaya, dan peningkatan status sosial secara langsung di Masyarakat.


Masih tingginya angka pelaksanaan sunat perempuan di Indonesia kuat dipengaruhi dengan peran negara yang justru turut serta melanggengkan praktik tersebut. Indonesia sebagai negara multikultural memberikan pengakuan terhadap kelompok kebudayaan yang tercantum dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, di banyak tempat pemberian hak tersebut justru dapat melemahkan posisi perempuan dalam tatanan masyarakat lokal. Banyaknya praktik tidak adil gender seperti halnya sunat perempuan kemudian dilegalkan oleh tradisi. Negara pun turut serta memberikan otonomi kepada setiap kelompok budaya untuk melanjutkan tatanan sosialnya. Jika tatanan sosial kelompok budaya didasarkan pada patriarki, status perempuan dalam masyarakat akan menjadi sangat lemah. Terkait peraturan dan kebijakan, pemerintah Indonesia sendiri belum memiliki aturan mumpuni terkait praktik sunat perempuan. Peraturan yang saat ini berlaku yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 6 Tahun 2014. Permenkes tersebut dianggap ambigu karena menyatakan melarang, tetapi tetap memberikan ruang kepada masyarakat untuk melakukan praktik sunat perempuan selama didasarkan pada agama dan tradisi. Tidak adanya aturan atau kebijakan yang secara proporsional membahas mengenai sunat perempuan menjadi gambaran bahwa negara belum bisa dengan tegas melindungi hak seksual dan reproduksi perempuan.


Referensi


1. Omigbodun O, Awusah TB, Groleau D, et al. Perceptions of The Psychological Experiences Surrounding Female Genital mutilation/cutting (FGM/C) among the Izzi in Southeast Nigeria. Transcultural Psychiatry, 2019; 0 (0): 1-16.

2. Mulongo P, Martin CH, Mc Andrew. The psychological impact of Female Genital Mutilation/Cutting (FGM/C) on Girls/women’s Mental Health: A Narrative Literature Review. Journal of Reproductive and Infant Psychology, 2014; 32 (5): 469-485.

3. Kouba LJ, Muasher J. Female Circumcision in Africa: An Overview. African Studies Review. 1985; 1 (28): 95-110 Open Acces: 19/06/2014.

4. Sulahyuningsih E, Daro YA, Safitri A. Analisis Praktik Tradisional Berbahaya: Sunat Perempuan Sebagai Indikator Kesetaraan Gender dalam Perspektif Agama, Transkultural, dan Kesehatan Reproduksi di Kabupaten Sumbawa. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Vol.12 No.1 (2021) 134-148.

5. Llamas P. Female Circumcision: The History, the Current Prevalence and the Approach to a Patient. 2017.

6. Supriatami SM. Alimi R. Nulhaqim SA. Pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Praktik Female Genital Mutilation. 2022; 1(1): 92 – 105.

7. Ida R, Saud M. Female Circumcision and the Construction of Female Sexuality: A Study on Madurese in Indonesia. Original Paper. 2020 ;https://doi.org/10.1007/s12119-020-09732-6.

8. Lutfi APK, Wahyuningroem SL. Opresi dan Kuasa Atas Tubuh Perempuan dalam Tradisi Masyarakat Budaya: Studi Kasus Sunat Perempuan di Banten. Jurnal Perempuan, Vol. 28 No. 1, April 2023, 37—47.

9. Jati Pamungkas, M.A. Sirkumsisi Perempuan Sebuah Tradisi Kuno yang Eksis dan Terlarang (Studi Kasus Mesir), 2020; 1 )4): 48-65.

10. Biglu MH, Farnam A, Abotalebi P, et al. Effect of Female Genital Mutilation/Cutting on Sexual Functions. Sexual & Reproductive Healthcare, 2016: 1 (10): 3-8.

11. Zamzami M. Perempuan dan Narasi Kekerasan: Analisis Hukum dan Medis Sirkumsisi Perempuan. 2017, 1 (5): 53-74.


Penulis merupakan Mahasiswa S2 Magister Sains Psikologi di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang

Lebih baru Lebih lama