Jejak Abadi Seorang Kartini

 


Oleh: Hanaa Muthmainna 

Kartini bukan sekadar nama dalam buku sejarah, ia adalah jejak yang terus hidup dalam  langkah setiap perempuan yang berjuang hari ini. 

Meski telah lebih dari seabad berlalu sejak ia menulis gagasannya tentang pendidikan, kebebasan berpikir, dan kesetaraan dalam kumpulan suratnya yang dihimpun menjadi sebuah buku yang berjudul _Door Duisternis tot Licht_, semangat Kartini tetap menyala dalam berbagai bentuk perjuangan perempuan masa kini. 

Di tengah tantangan modern seperti kekerasan berbasis gender, kesenjangan upah, hingga keterbatasan akses terhadap ruang pengambilan keputusan, warisan pemikirannya menjadi bahan bakar yang tak pernah padam. 

Jejak abadi seorang Kartini kini hadir dalam suara-suara perempuan yang tak lagi diam, yang berani menuntut ruang, keadilan, dan pengakuan. 

Sepanjang tahun 2024, Komnas Perempuan mencatat 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat hampir 10% dibandingkan tahun sebelumnya. 

Dari jumlah tersebut, 330.097 merupakan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP), dengan kekerasan seksual dan psikis sebagai bentuk yang paling dominan.

Kartini telah lama pergi, namun jejaknya masih terasa dalam perjuangan perempuan hari ini, terutama dalam menuntut ruang yang adil dan inklusif di ranah publik, termasuk dunia penyiaran. 

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Fauzi, menyatakan bahwa media penyiaran masih lekat dengan ketidakadilan gender, di antaranya dengan menampilkan perempuan hanya dalam peran domestik serta isu kehamilan, pengasuhan, dan pendidikan. 

Di tengah derasnya arus informasi, suara perempuan masih kerap tersisih, direduksi hanya pada rupa, atau bahkan menjadi objek eksploitasi. 

Penyiaran yang seharusnya menjadi ruang representasi justru kerap "melanggengkan stereotip", alih-alih membongkarnya. 

Sementara itu, di balik layar, banyak perempuan masih bergulat dengan kekerasan, baik secara verbal, simbolik, maupun fisik yang sering kali tidak terlihat dan tidak dilaporkan. 

Dalam konteks inilah, semangat Kartini perlu kita hidupkan kembali, bukan hanya sebagai simbol inspiratif, tetapi sebagai dorongan kolektif untuk menciptakan ruang siar yang adil, aman, dan setara bagi semua.

Penyiaran yang adil dan inklusif bukan sekadar soal menampilkan perempuan di layar, melainkan bagaimana memastikan bahwa narasi yang dibangun tidak bias gender dan tidak menyudutkan kelompok rentan. 

Sayangnya, masih banyak program siaran yang menggambarkan perempuan dalam peran yang sempit; lemah, emosional, atau sekadar pelengkap. 

Belum lagi, pelaku kekerasan seksual kadang diberi panggung, sementara penyintas justru dibungkam. 

Dalam situasi seperti ini, penyiaran seharusnya menjadi alat perubahan, bukan penguat ketidakadilan sesuai dengan UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 yang menjamin perlindungan terhadap kelompok tertentu, seperti perempuan, anak-anak, remaja, dan orang dengan kondisi fisik tertentu, melalui standar program siaran dan pedoman perilaku penyiaran. Perempuan harus mendapat ruang aman untuk bersuara, tanpa takut distigma atau disensor.

Sudah saatnya dunia penyiaran mengambil peran aktif dalam menciptakan ruang yang setara dan aman bagi perempuan. 

Pertama, lembaga penyiaran perlu menerapkan kebijakan redaksional berbasis kesetaraan gender, termasuk pelatihan rutin bagi kru produksi dan jurnalis untuk mengenali serta menghindari bias gender dan stereotip dalam konten. 

Kedua, representasi perempuan dalam posisi strategis harus ditingkatkan, tidak hanya sebagai pengisi acara, tapi juga sebagai pengambil keputusan, penulis naskah, editor, dan produser. 

Ketiga, penanganan kasus kekerasan di lingkungan kerja penyiaran harus tegas dan transparan, dengan mekanisme pelaporan yang aman bagi korban. 

Keempat, program siaran perlu memberi ruang bagi narasi perempuan, terutama dari kelompok rentan atau marjinal, agar suara mereka turut membentuk wajah media. 

Terakhir, lembaga pengawas seperti KPI perlu memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap konten yang mendiskriminasi atau mengeksploitasi perempuan, dan memberi penghargaan pada program yang mendorong keadilan gender.

Dengan langkah konkret ini, dunia penyiaran tidak hanya akan menjadi lebih adil, tetapi juga lebih relevan dan bermakna bagi masyarakat luas.

Kartini memang telah tiada, tapi jejaknya tak pernah benar-benar hilang. Ia hidup dalam setiap perempuan yang berani bersuara, di tengah ruang yang kadang tak ramah bagi kebenaran. 

Hari Kartini bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi tentang memperjuangkan masa depan yang adil. 

Jejak abadi seorang Kartini adalah keberanian untuk bersuara di tengah diam, untuk berdiri di tengah dominasi, dan untuk menggugah kesadaran di ruang-ruang yang masih bias. 

Sudah saatnya dunia penyiaran menjadi cermin keberagaman dan keadilan, bukan hanya bagi perempuan, tetapi bagi semua yang selama ini disisihkan. 

Karena Kartini hari ini tidak hanya hidup di balik meja tulis, tapi juga di balik kamera, mikrofon, dan layar kaca, serta di sela sunyi ruang redaksi. Kartini terus berjalan. Bukan sebagai bayang-bayang masa lalu, tapi sebagai nyala yang menuntun langkah-langkah baru, berjuang agar suara perempuan tidak lagi disamarkan, tapi didengar dan dihargai.

Kartini berujar “Bukanlah laki-laki yang hendak kami lawan, melainkan pendapat kolot tentang perempuan.” Habis gelap terbitlah terang. Selamat Hari Kartini untuk seluruh perempuan Indonesia yang bersahaja. 

Penulis merupakan Dosen UPB UIN Antasari Banjarmasin

Lebih baru Lebih lama