Fenomena Depresi pada Remaja dan Dewasa Muda

Krisma Aulia. Foto-Istimewa

Oleh: Krisma Aulia

Masa remaja merupakan masa transisi penting dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan, di mana individu dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan serta membentuk identitas diri, sebagaimana dijelaskan oleh teori perkembangan psikososial Erikson. Dalam perjalanannya, remaja kerap menghadapi tantangan seperti konflik dengan orang tua dan kecenderungan berperilaku berisiko. Ketidakmampuan dalam mengelola diri dan menjalin hubungan sosial yang sehat dapat menyebabkan tekanan emosional yang jika tidak ditangani dengan tepat, dapat berkembang menjadi depresi. Depresi menjadi penyebab utama disabilitas pada remaja dan menjadi faktor risiko utama dalam kasus bunuh diri, yang kini tercatat sebagai penyebab kematian keempat pada remaja di seluruh dunia. Sayangnya, banyak kasus gangguan psikologis pada remaja yang tidak terdeteksi dan tidak ditangani dengan baik. Menurut WHO, lebih dari 264 juta orang di dunia mengalami depresi, dan di Indonesia sendiri, survei kesehatan mental tahun 2022 menunjukkan bahwa 5,5% remaja usia 10–17 tahun mengalami gangguan mental, termasuk 1% yang mengalami depresi. Data Riskesdas 2018 juga menunjukkan bahwa 6,2% penduduk usia 15–24 tahun mengalami depresi. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang depresi pada remaja sangat penting guna mendorong deteksi dini dan penanganan yang efektif.

Depresi adalah gangguan kesehatan mental yang ditandai dengan perasaan sedih mendalam, kehilangan minat dalam aktivitas sehari-hari, serta munculnya perasaan tidak berharga dan putus asa. Menurut DSM-5, depresi merupakan gangguan suasana hati yang dapat dipicu oleh kombinasi faktor biologis, psikologis, dan sosial. Secara biologis, ketidakseimbangan neurotransmiter seperti serotonin, dopamin, dan norepinefrin turut berperan, dan faktor genetik juga memperbesar risiko. Dari sisi psikososial, pengalaman traumatis di masa kecil, gaya hidup yang tidak sehat, serta tekanan sosial dan akademik dapat memperparah kondisi depresi. Dalam kerangka teori kognitif Beck, pandangan negatif terhadap diri sendiri, dunia, dan masa depan sering muncul pada individu yang mengalami depresi.

Depresi pada remaja dapat dipicu oleh berbagai faktor. Penggunaan media sosial yang berlebihan, terutama dengan kecenderungan membandingkan diri dan tekanan untuk tampil sempurna, dapat menyebabkan stres dan rasa tidak puas terhadap diri. Bullying, baik fisik maupun verbal, juga memberikan tekanan emosional yang signifikan. Selain itu, kegagalan dalam hubungan percintaan, konflik dengan orang tua atau teman dekat, serta tekanan akademik menjadi penyebab umum lainnya. Faktor genetik dan pengalaman traumatis seperti kehilangan orang tercinta atau pelecehan juga meningkatkan risiko depresi.

Gejala depresi pada remaja dapat bervariasi. Tanda umum meliputi perasaan putus asa, tidak berharga, dan hilangnya minat terhadap aktivitas yang biasa dilakukan. Remaja dengan depresi juga bisa mengalami kecemasan berlebihan, suasana hati yang terus-menerus buruk, serta gangguan tidur dan selera makan. Keluhan fisik tanpa penyebab yang jelas, seperti sakit kepala atau pusing, juga dapat muncul. Gejala paling serius adalah munculnya keinginan untuk mengakhiri hidup, bahkan sampai mengalami halusinasi atau delusi. Hal ini menandakan bahwa penanganan psikologis yang intensif sangat diperlukan.

Diagnosa depresi pada remaja merujuk pada kriteria DSM-5, yang mensyaratkan adanya suasana hati yang depresif atau kehilangan minat selama dua minggu berturut-turut, disertai dengan gejala lain seperti gangguan tidur, perubahan berat badan, kelelahan, rasa bersalah, kesulitan berkonsentrasi, dan pemikiran bunuh diri. Gejala ini sering kali muncul dalam bentuk iritabilitas atau kemarahan, terutama pada remaja laki-laki. Tingkat keparahan depresi dibedakan menjadi ringan, sedang, dan berat, tergantung pada jumlah dan intensitas gejala serta dampaknya pada kehidupan sehari-hari.

Penanganan depresi pada remaja meliputi psikoterapi, farmakoterapi, atau kombinasi keduanya. Fase pengobatan dibagi menjadi fase akut, lanjutan, dan pemeliharaan. Pada depresi ringan, psikoterapi seperti Cognitive Behavioural Therapy (CBT) dan Interpersonal Therapy (IPT) sering kali menjadi pilihan utama. CBT membantu individu memahami hubungan antara pikiran, emosi, dan perilaku, sedangkan IPT fokus pada masalah hubungan interpersonal. Untuk depresi sedang hingga berat, terapi kombinasi dan pemberian obat seperti fluoxetine menjadi rekomendasi. Obat lain seperti escitalopram juga digunakan, meskipun penggunaannya harus diawasi ketat karena adanya risiko efek samping dan peningkatan ide bunuh diri.

Pencegahan depresi penting dilakukan melalui tiga pendekatan utama: universal, selektif, dan terindikasi. Pencegahan universal ditujukan untuk seluruh populasi remaja melalui edukasi dan program pemecahan masalah. Pencegahan selektif ditujukan bagi kelompok berisiko tinggi dan mencakup pelatihan keterampilan komunikasi dan berpikir positif. Pencegahan terindikasi dilakukan bagi remaja yang telah menunjukkan gejala awal depresi, melalui intervensi seperti psikoedukasi dan pelatihan keterampilan interpersonal. Intervensi ini tidak hanya bermanfaat bagi remaja, tetapi juga bagi orang tua dan lingkungan sekitar dalam menciptakan dukungan yang kondusif untuk kesehatan mental remaja.

Referensi

1. Beirao D, Monte H, Amaral M, et al. (2020). Depression in Adolescence: A Review. Middle East Current Psychiatry; 2-9. https://doi.org/10.1186/s43045-020-00050-z

2. Murtoyo E, Kirnantoro. (2021). Literature Review: Dukungan Keluarga Terhadap Tingkat Depresi Pada Remaja. 13 (2): 90-93.

3. Kemenkes. (2023). Depresi pada Anak Muda di Indonesia. www. badankebijakan.kemkes.go.id

4. American Psychiatric Association. (2022). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed., text rev.; DSM-5-TR). American Psychiatric Publishing.

5. Thapar A, Eyre, Olga, Patel, et al. (2022). Depression in Young People. The Lancet 400, 10352.

6. Miller L, Campo JV. (2021). Depression in Adolescents. The New England Journal of Medicine. 385(5) : 445-448.

7. Wang X. Cai Z, Jiang W, et al. (2022). Systematic Review and Meta-Analysis of The Effects of Exercise On Depression in Adolescents. 16 (16). 3-19.

8. Dianovinina K. (2018). Depresi pada Remaja: Gejala dan Permasalahannya. Jurnal Psikogenesis; 6 (1): 69-77.

9. Mailoa EOS, Hermanto YP, Hindradjat J. (2022). Orang tua sebagai Supporting System: Penanganan Anak Remaja yang Mengalami Depresi. 3 (2): 244-267.

10. Mendez J, Hernandez OS. Garber J, et al. (2021) Psychological Treatments for Depression in Adolescents: More Than Three Decades Later. International Journal of Environmental Research and Public Health. 2-35. https://doi.org/10.3390/ijerph18094600

Penulis merupakan Mahasiswa Magister Sains Psikologi UNIKA Soegijapranata Semarang

Lebih baru Lebih lama