![]() |
Di tengah lanskap budaya pop yang terus berubah, dua arus gaya hidup mencuat dan bersaing merebut hati generasi muda: anak skena dan starboy. Foto-Istimewa |
SUARAMILENIAL.ID, JAKARTA – Di tengah lanskap budaya pop yang terus berubah, dua arus gaya hidup mencuat dan bersaing merebut hati generasi muda: anak skena dan starboy.
Keduanya menawarkan narasi berbeda tentang bagaimana menjadi muda, relevan, dan terlihat.
Jika anak skena lekat dengan estetika alternatif dan perlawanan halus terhadap arus utama, maka starboy mencitrakan dirinya sebagai simbol kepercayaan diri, kemewahan, dan kehadiran visual yang mencolok.
Istilah anak skena merujuk pada kelompok muda yang tumbuh dari kultur musik independen, kopi senja, fotografi analog, hingga celana cutbray dan totebag bertuliskan frasa eksistensial.
Mereka akrab dengan istilah obscure band, film arthouse, dan gemar nongkrong di gigs kecil, jauh dari hiruk pikuk tren komersial.
Sementara starboy adalah representasi dari budaya main character energy, dengan estetika yang lebih mengarah ke high fashion, influencer lifestyle, dan self-branding di media sosial.
“Kalau anak skena biasanya rendah hati, tapi penuh isyarat simbolik dalam penampilan dan pilihan gaya hidup. Mereka senang jadi bagian dari subkultur yang tidak semua orang paham,” kata Vino Aditya, pengamat gaya hidup digital dari Universitas Indonesia.
“Sedangkan starboy tampil sebagai pusat perhatian. Mereka ingin dilihat, didengar, dan dikagumi.”
Milenial cenderung lebih dekat dengan identitas anak skena karena tumbuh dalam era transisi analog ke digital.
Mereka mengalami masa di mana musik dan fashion adalah bentuk ekspresi personal yang tak selalu harus disebarluaskan di dunia maya.
Sementara Gen Z, yang lahir dalam ekosistem serba digital, banyak mengambil nilai-nilai dari karakteristik starboy: ekspresif, fashionable, dan terbuka dalam menampilkan gaya hidup di media sosial.
Kehadiran platform seperti Instagram, TikTok, dan Spotify menjadi ruang kompetisi visual sekaligus panggung ekspresi keduanya.
Anak skena mengisi feed mereka dengan tone warna earthy, potret hitam-putih, dan caption filosofis.
Sebaliknya, starboy tampil dalam siluet mencolok, outfit branded, serta caption penuh percaya diri seperti “Born to stand out” atau “Main character, always.”
Namun, perbedaan ini bukan sekadar soal gaya, tapi juga mencerminkan respons budaya terhadap dunia yang cepat berubah.
Anak skena kerap mengambil jarak dari kapitalisme digital, sementara starboy berdansa di dalamnya.
Keduanya mewakili dua kutub cara muda-mudi menghadapi tekanan zaman: satu melawan dengan subtil, satu lagi menaklukkannya dengan sorotan.
Di tengah perbedaan itu, ada satu kesamaan yang tak terbantahkan: baik anak skena maupun starboy sama-sama ingin dimengerti, dilihat, dan diakui—meski dengan cara yang sangat berbeda.
“Pada akhirnya, ini bukan soal siapa yang paling keren,” ujar Vino.
“Ini soal bagaimana generasi ini membentuk identitas mereka dalam dunia yang terus menuntut definisi baru tentang siapa kita dan bagaimana kita tampil.”
Editor : Muhammad Robby