![]() |
| Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai bencana hidrometeorologis ini sebagai tanda kian akutnya krisis tata kelola ruang di Pulau Sumatera. Foto-Dok Republika |
SUARAMILENIAL.ID, MEDAN - Serangkaian banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam sepekan terakhir dinilai bukan sekadar akibat cuaca ekstrem.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai bencana hidrometeorologis ini sebagai tanda kian akutnya krisis tata kelola ruang di Pulau Sumatera.
Pengkampanye JATAM, Alfarhat Kasman, mengatakan bencana yang menewaskan puluhan orang serta memaksa ribuan warga mengungsi tersebut merupakan konsekuensi dari kerusakan ekosistem hulu dan daerah aliran sungai (DAS).
Kerusakan itu, menurut dia, berkaitan erat dengan ekspansi industri ekstraktif dan proyek energi berskala besar.
“Bencana ini menewaskan puluhan orang, melukai banyak warga, ratusan lainnya hilang, dan memaksa ribuan orang mengungsi. Ini menunjukkan kapasitas ruang hidup untuk menyerap air dan menahan longsor sudah runtuh,” ujar Alfarhat dilansir Republika, Sabtu (29/11/2025).
Beban Ekologis dari Industri Ekstraktif
Analisis JATAM terhadap data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan terdapat sedikitnya 1.907 wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) minerba aktif di Sumatera, dengan total luas 2,45 juta hektare.
Konsentrasi izin terpadat berada di Bangka Belitung (443 izin), Kepulauan Riau (338), Sumatera Selatan (217), Sumatera Barat (200), Jambi (195), dan Sumatera Utara (170).
Kawasan konsesi tersebut, menurut JATAM, mengubah hutan, lahan basah, dan kebun rakyat—yang sebelumnya berfungsi sebagai penyangga air—menjadi lokasi galian tambang terbuka, infrastruktur, hingga jalur logistik.
“Ini melemahkan kemampuan DAS untuk menahan dan menyalurkan air secara alamiah,” kata Alfarhat.
Tekanan Bertambah dari PLTA dan Panas Bumi
Selain pertambangan, tekanan ekologis juga datang dari proyek pembangkit listrik. JATAM mencatat ada 28 proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang beroperasi atau sedang dibangun di Sumatera.
Sebanyak 16 proyek berada di Sumatera Utara, disusul Bengkulu (5), Sumatera Barat (3), serta Lampung dan Riau masing-masing dua proyek.
Proyek PLTA Batang Toru menjadi salah satu perhatian JATAM. Analisis citra satelit per 28 November 2025 menunjukkan pembukaan hutan sedikitnya 56,86 hektare untuk pembangunan fasilitas utama dan penunjang.
“Kehadiran PLTA mengubah aliran sungai dan pola sedimen. Dalam kondisi hujan ekstrem, risiko banjir dan longsor meningkat,” ujarnya.
Selain itu, terdapat delapan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Sumatera, sebagian berada di zona pegunungan curam yang rawan longsor.
Aktivitas pembukaan hutan dan pengeboran di wilayah hulu disebut menambah kerentanan lahan.
PPKH sebagai Celah Legal
JATAM juga menyoroti mekanisme Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
Di Sumatera terdapat 271 izin PPKH dengan total luas 53.769 hektare. Dari jumlah tersebut, sektor pertambangan memegang 66 izin dengan luas 38.206 hektare.
Alfarhat mencontohkan PT Agincourt Resources, pengelola tambang emas Martabe di Batang Toru, yang diperkirakan membuka 570 hektare kawasan hutan.
“Intervensi skala besar di kawasan penyangga utama DAS berkontribusi terhadap ketidakstabilan ekologis,” ujarnya.
Menurut JATAM, Sumatera kini dibebani “tiga lapis industri” sekaligus: tambang minerba yang mengurangi tutupan lahan, PLTA yang memodifikasi aliran sungai, serta proyek panas bumi yang menggali kawasan hulu.
Data tersebut belum mencakup ekspansi sawit, HPH, HTI, maupun tambang ilegal yang tidak tercatat dalam basis data pemerintah.
Dorongan Audit dan Moratorium
JATAM mendesak pemerintah melakukan audit menyeluruh dan memberlakukan moratorium terhadap industri ekstraktif di Sumatera.
Tanpa keputusan politik yang tegas, termasuk pencabutan izin yang merusak, Alfarhat menilai negara justru memperpanjang siklus bencana.
“Jika negara hanya menjawab bencana dengan karung bantuan dan laporan serapan anggaran, maka negara sesungguhnya sedang melanggengkan siklus pengorbanan tersebut,” ujarnya.
JATAM juga menyerukan pengembalian tata kelola ruang kepada masyarakat lokal dan adat yang dinilai memiliki rekam jejak dalam menjaga hutan dan sungai.
Respons Kemenhut
Kementerian Kehutanan menanggapi beredarnya video kayu gelondongan yang hanyut terbawa banjir di Sumatera Utara. Dirjen Penegakan Hukum Kemenhut, Dwi Januanto Nugroho, mengatakan kayu tersebut diduga berasal dari Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) di areal penggunaan lain (APL).
“Dari deteksi awal, kayu-kayu itu dari PHAT di APL. Kayu tumbuh alami di kawasan tersebut mengikuti regulasi kehutanan dalam Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPU),” kata Dwi dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, kayu tersebut kemungkinan merupakan bekas tebangan yang telah lapuk lalu terseret banjir. Ia tak menutup kemungkinan kayu itu terkait praktik pencucian kayu ilegal melalui skema PHAT.
“Kami tidak mengesampingkan potensi itu. Tim masih memeriksa di lapangan,” ujarnya.
Video yang beredar di media sosial memperlihatkan kayu gelondongan terbawa arus banjir di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah, memicu dugaan publik mengenai kaitannya dengan deforestasi di wilayah terdampak banjir.
Editor : Muhammad Robby
