Kisah Pilu Milenial Kalsel Terjerat Pinjol Ilegal: Diteror hingga Bertahun-tahun!

Ilustrasi fintech peer to peer (P2P) Lending. Foto-net

SUARAMILENIAL.ID, BANJARBARU - Masyarakat Indonesia khususnya generasi milenial patut waspada sebelum melakukan peminjaman uang di perusahaan fintech peer to peer (P2P) Lending.

Terlebih jika perusahaan fintech peer to peer (P2P) Lending itu tak mengantongi izin resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Salah satunya seperti yang dialami milenial asal Barito Kuala (Batola), Kalimantan Selatan (Kalsel) berinisial MRF (24).

Ia pernah terjerat kasus pinjaman online (pinjol) ilegal pada 2021 lalu.

Kala itu, ia berniat membangun bisnis dengan meminjam modal dari salah satu perusahaan fintech peer to peer (P2P) Lending ilegal.

“Saat itu saya memulai usaha di bidang kuliner,” ucap MRF kepada SUARAMILENIAL.ID via telepon, Rabu (28/2) malam.

“Mohon maaf, saya tak bisa menyebutkan secara gamblang nama perusahaan pinjol tersebut,” sambungnya.

Bisnis yang dibangunnya pun sempat berjalan. Namun kolaps akibat pandemi Covid-19.

“Alhasil, saya hanya meninggalkan utang,” kenangnya.

Sialnya, ia tak mampu lagi membayar utang lantaran belum memiliki pekerjaan.

“Saat itu memang terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal akibat pandemi,” katanya.

Lantaran kalut, ia mencoba membayar utang dengan melakukan peminjaman lagi di salah satu perusaahan fintech peer to peer (P2P) Lending.

“Memang kala itu saya gali lubang tutup lubang,” ujarnya.

Bukannya selesai, ia justru menimbulkan masalah baru.

Nominal utang dari kedua perusahaan fintech peer to peer (P2P) Lending itu mencapai Rp20 juta.

“Karena tak sanggup membayar, saya ditelepon setiap hari. Bahkan sempat diancam,” bebernya.

“Teman-teman saya juga ditelepon. Peristiwa itu berlangsung selama kurang lebih satu tahun,” tambahnya.

Pasca-kejadian itu, ia mengaku menyesal karena terlalu gegabah dalam mengambil keputusan.

Ia berkomitmen akan meningkatkan literasi keuangan agar insiden serupa tak terulang.

“Saya menyesal karena selama ini kurang dalam literasi keuangan. Semoga ini menjadi pengalaman dan titik balik dalam hidup saya,” harapnya.

Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK, Rudy Agus Raharjo. Foto-Infobank

Sementara itu, Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK, Rudy Agus Raharjo menjelaskan bahwa pihaknya memiliki fungsi untuk mengatur, mengawasi dan melindungi sektor jasa keuangan berdasarkan UU No 21 Tahun 2022.

“Melalui Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), OJK memiliki mandat untuk melakukan pelindungan konsumen dan masyarakat dan melakukan pengawasan market conduct,” jelas Rudy dalam Journalist Class Angkatan 8 di Banjarbaru, Rabu (28/2).

Hingga Februari 2024, sambung dia, OJK telah menerima 1.359.670 layanan konsumen.

Adapun isu tertinggi yakni mengenai Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), perilaku petugas penagihan, penipuan, legalitas non-IJK, dan restrukturisasi kredit.

“Peran dan fungsi OJK dalam melindungi kepentingan konsumen dan/atau masyarakat tercantum dalam UU OJK, mulai dari tindakan preventif, pelayanan pengaduan, pembelaan hukum dan regulasi,” katanya.

Terakhir, ia menyebutkan tujuh prinsip perlindungan konsumen OJK.

Pertama, edukasi yang memadai.

Kedua, keterbukaan dan transparansi informasi.

Ketiga, perlakuan yang adil dan perilaku bisnis yang bertanggung jawab.

Keempat, perlindungan aset, privasi dan data konsumen.

Kemudian, penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien.

“Lalu penegakan kepatuhan, dan terakhir adalah persaingan yang sehat,” sebutnya.

Kepala Departemen Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, Edi Setijawan. Foto-Istimewa

Gayung bersambut, Kepala Departemen Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, Edi Setijawan mengungkapkan bahwa pelaku pinjol ilegal tidak hanya korporasi, tapi bisa juga perorangan.

“Jumlah penyelenggara berizin sebanyak 101. Terbagi dari 94 penyelenggara konvensional dan 7 penyelenggara syariah,” ungkapnya.

Menurutnya, sasaran utama penerima dana adalah masyarakat yang unbankable dan underserved untuk kebutuhan produktif dan konsumtif.

“Pada 2023, sebanyak 2.248 entitas pinjol ilegal yang telah ditindak SATGAS PASTI,” sebutnya.

Ia menegaskan bahwa fintech peer to peer (P2P) Lending diatur dalam UU P2SK.

“Dalam amanat UU P2SK, diatur terkait penguatan landasan hukum bagi penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI),” tegasnya.

Terakhir, ia menilai beleid ini memberikan kewenangan bagi OJK untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap salah satu penyelenggara LPBBTI.

“Selain itu, juga diatur terkait dasar hukum bagi penyelenggara P2P Lending ilegal agar dapat dipidanakan yang berlaku 3 tahun setelah diterbitkan (2026),” tutupnya.

Jadikan Pembelajaran

Ekonom Kalsel, Dr. Mohammad Zainul. Foto-net

Ekonom Kalsel, Dr. Mohammad Zainul meminta generasi muda agar menjadikan kasus tersebut sebagai pembelajaran.

“Dari sini kita harus belajar terkait literasi dan edukasi keuangan, sehingga kasus serupa tak terulang lagi,” kata Wakil Rektor I Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad Al Banjari (MAB) Banjarmasin ini kepada SUARAMILENIAL.ID, Rabu (28/2) kemarin.

Menurutnya, peminjaman harus dilihat dari dua sisi yakni debitur dan kreditur.

Dari sisi debitur, kata dia, sebelum memutuskan untuk meminjam uang harus memperhatikan beberapa hal.

Di antaranya besar dana yang mau dipinjam harus sesuai kebutuhan.

Kemudian dana yang diperoleh dari pinjaman harus dimanfaatkan untuk hal-hal yang produktif.

Ketiga, debitur harus memiliki penghasilan. Debitur harus memiliki kemampuan untuk membayar angsuran.

Selanjutnya, lembaga yang memberikan pinjaman harus legal. Ditambah bunga pinjaman harus relatif rendah.

“Pastinya pinjaman bersyarat lunak,” jelas Mantan Direktur Pascasarjana Uniska MAB Banjarmasin ini.

Sedangkan dari sisi kreditur, sambung dia, juga harus memperhatikan beberapa hal.

Pertama, debitur yang dilayani harus memiliki penghasilan.

Kedua, memastikan debitur memiliki kemampuan untuk membayar angsuran.

Ketiga, kreditur harus mengetahui dan menilai untuk apa dana pinjaman tersebut.

“Terakhir, kreditur harus mengetahui domisili dan kredibilitas debitur yang akan diberi pinjaman,” pungkasnya.

Penulis: Muhammad Robby

Lebih baru Lebih lama