Penjelasan Sains soal Peristiwa Isra Miraj

Setiap bulan Rajab, umat Islam memperingati perjalanan Nabi Muhammad SAW yang dikenal sebagai Isra Mi'raj.

SUARAMILENIAL.ID, BANJARMASIN - Setiap bulan Rajab, umat Islam memperingati perjalanan Nabi Muhammad SAW yang dikenal sebagai Isra Mi'raj.

Secara istilah, Isra berarti 'perjalanan pada malam hari.' 

Ini lantas diikuti dengan Mi'raj, yakni 'kenaikan menuju Allah.'

Pengalaman melakukan Isra Miraj adalah salah satu mukjizat Rasulullah SAW. 

Menurut pendapat umumnya cendekiawan, peristiwa itu terjadi pada 27 Rajab tahun ke-10 sejak kenabian Muhammad SAW.

Dalam banyak hadis dijelaskan Rasulullah SAW pergi dari Masjidil Haram, Makkah, menuju Masjidil Aqsha, Baitul Makdis (Palestina) dengan makhluk yang bernama Buraq. 

Sampai di al-Aqsha, Malaikat Jibril kemudian membawanya ke atas menuju lapis demi lapis langit hingga ke yang tertinggi.

Dalam perjalanan ini, Rasulullah SAW bertemu nabi-nabi lain, yaitu Adam, Yahya, Isa, Idris, Harun, Musa, dan Ibrahim. 

Setelah bertemu dengan para utusan Allah terdahulu, beliau pun menuju Sidratul Muntaha.

Isra dan Mi'raj adalah sebuah fenomena perjalanan yang sangat mungkin terjadi dan bisa dijelaskan kemungkinannya dari sisi keilmuan masa kini. 

Hal itu disampaikan dosen Departemen Fisika IPB University Prof Husin Alatas.

Menurut Husin, Isra adalah peristiwa yang secara fisik bisa dipahami saat ini. 

"Perjalanan dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Palestina dalam waktu relatif singkat rasanya sudah sangat terang bahwa hal tersebut dapat dilakukan. Mengacu pada perkembangan teknologi pesawat terbang kini, misalnya, maka peristiwa tersebut seharusnya bukan lagi sesuatu yang aneh," ujarnya dilansir Republika.

Sementara Mi'raj, kata Husin, dimungkinkan terjadi berdasarkan deskripsi fisika tentang struktur ruang waktu dan alam semesta dengan dimensi ruang tambahan. 

Mi'raj dinilai sebagai perjalanan melalui lubang cacing (wormhole) yang menghubungkan dua titik di alam semesta melalui dimensi ruang tambahan.

Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia itu menerangkan, pada dasarnya sains modern, khususnya fisika, termasuk di dalamnya Teori Relativitas Einstein dan kosmo logi yang membahas mengenai struktur ruangwaktu dan alam semesta, belum dapat secara baik menjelaskan fenomena Mi'raj ke Sidratul Muntaha.

"Ditambah lagi penjelasan mengenai hal tersebut, sepanjang pemahaman saya, relatif minim diberikan di dalam Alquran. Penjelasan lebih banyak diberikan melalui hadishadis Nabi SAW. Fisika kelihatannya masih sebatas mampu memberikan deskripsi bahwa perjalanan semacam itu dapat dimungkinkan secara teori," katanya menerangkan.

Jika mengacu pada deskripsi fisika mengenai struktur ruang-waktu, perjalanan Mi'raj setidaknya dapat dijelaskan dalam kemungkinan teoretis. 

"Pengalaman sehari-hari kita menunjukkan bahwa kita hidup di dimensi ruang yang berjumlah tiga ditambah satu dimensi waktu," ujar tokoh organisasi Rabithah Alawiyah itu.

Husin mengatakan, ada salah satu prediksi dari fisika yang cukup populer jika alam semesta punya dimensi ruang tambahan sehingga ada lebih dari tiga dimensi ruang. Tentu saja, ditambah lagi dengan satu dimensi waktu.

"Pada alam semesta dengan dimensi ruang lebih dari tiga ini, dimungkinkan adanya jalanjalan pintas yang secara teori diprediksi kebera daannya oleh Teori Relativitas Einstein," ungkap dia.

Jalan pintas yang dimaksud biasa disebut Einstein-Rosen Bridge atau wormhole (lubang cacing) yang menghubungkan dua titik dalam ruangwaktu melalui dimensi tambahan tersebut.

Dengan begitu, perjalanan antargalaksi dapat ditempuh dengan waktu yang relatif singkat. 

"Keberadaan jalan pintas ini tampaknya selaras dengan sinyalemen Alquran bahwa langit memiliki 'pintu-pintu', seperti disebutkan di dalam surah al-Hijr ayat 14-15. Jika kemudian Baginda Nabi melakukan perjalanan lewat wormhole, lalu ke mana perginya?" katanya menambahkan.

Di dalam Alquran surah an-Najm Ayat 13-18 diterangkan, Nabi SAW melakukan perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha dan melihat tandatanda Allah SWT yang paling besar.

Husin menduga, tanda paling besar tersebut adalah lubang hitam atau black-hole. Ini objek paling luar biasa di alam dengan massa yang teramat besar sehingga cahaya pun tidak dapat lepas darinya. Namun, teori ini setidaknya memiliki satu kelemahan.

Husin mengungkapkan, jika Nabi SAW berada di dekat black-hole, waktu yang dirasakan tentu berjalan sangat lambat. Satu detik di dekat black-hole bisa jadi bertahun-tahun waktu bumi. Karena itu pula, ini tidak sesuai dengan kenyataan bahwa peristiwa Mi'raj berlangsung dalam waktu singkat menurut ukuran waktu bumi.

Kemungkinan lain, Nabi Muhammad SAW pergi melalui lubang cacing atau wormhole di mana Sidratul Muntaha berada di dimensi tambahan tersebut. Terlebih, dalam hadis disebutkan, terjadi rangkaian kejadian yang menyertai perjalanan Mi'raj. Karena itu, berdasarkan Teori Relativitas Einstein, tempat tersebut harus memiliki gravitasi sangat kecil sehingga waktu berjalan lebih cepat ketimbang ukuran waktu bumi. (*)

Lebih baru Lebih lama