Rumah Bubungan Tinggi, Simbol Kehormatan dalam Arsitektur Banjar

 Rumah Bubungan Tinggi dikenal sebagai rumah adat paling sakral dan prestisius dalam budaya masyarakat Banjar. Foto-Dok Banhub Kalsel

SUARAMILENIAL.ID, BANJARMASIN – Rumah Bubungan Tinggi dikenal sebagai rumah adat paling sakral dan prestisius dalam budaya masyarakat Banjar. 

Bentuknya yang khas, dengan atap curam menjulang tinggi, mencerminkan status sosial pemiliknya sekaligus menjadi simbol kejayaan masa lampau Kesultanan Banjar.

Dalam buku Arsitektur Tradisional Kalimantan Selatan terbitan Direktorat Jenderal Kebudayaan (1998), disebutkan bahwa rumah Bubungan Tinggi dulunya merupakan hunian para bangsawan atau kalangan kerabat kerajaan. 

Posisi rumah ini berada pada lapisan tertinggi dalam sistem hierarki rumah Banjar, di atas jenis rumah lainnya seperti Gajah Manyusu, Palimasan, atau Balai Laki.

Ciri paling menonjol dari rumah Bubungan Tinggi adalah bagian atapnya yang curam dan tinggi—disebut bubungan—yang menjulang di bagian tengah bangunan. 

Sudut atap yang curam tidak hanya berfungsi teknis sebagai penyalur air hujan, tetapi juga memiliki makna simbolik: menjulangnya martabat pemilik rumah.

Bangunan rumah ini umumnya terdiri dari tujuh ruang utama yang tersusun memanjang dari depan ke belakang: Palatar (teras), Panampik Kacil, Panampik Tangah, Panampik Basar, Ambin Sayup, Ambin Dalam, dan Anjung. 

Masing-masing ruang memiliki fungsi sosial dan kultural yang spesifik. 

Ambin Dalam, misalnya, adalah ruang paling sakral dan tertutup yang biasanya digunakan untuk menerima tamu penting atau melangsungkan prosesi adat.

Material utama rumah Bubungan Tinggi adalah kayu ulin, jenis kayu khas Kalimantan yang terkenal tahan air dan tidak mudah lapuk. 

Dindingnya dihiasi dengan ukiran bermotif flora dan fauna khas Banjar, seperti daun jaruju, kambang goyang, dan sisik naga, yang sarat makna filosofis tentang perlindungan, kesuburan, dan keseimbangan alam.

Lebih dari sekadar bangunan, rumah Bubungan Tinggi merupakan representasi nilai-nilai luhur masyarakat Banjar—mulai dari tatanan sosial, adat istiadat, hingga sistem kepercayaan yang hidup dalam keseharian mereka. 

Rumah ini juga berfungsi sebagai ruang pelestarian budaya, tempat berkumpul, dan pelaksanaan tradisi keluarga turun-temurun.

Sayangnya, rumah Bubungan Tinggi kini semakin langka. Pembangunan modern dan pergeseran gaya hidup menyebabkan banyak rumah adat ini terbengkalai atau bahkan dihancurkan. 

Sejumlah lembaga kebudayaan dan pemerintah daerah berupaya melakukan restorasi dan pelestarian, termasuk membangun replika rumah adat di kawasan budaya dan taman wisata.

Dalam buku Rumah Adat Nusantara (Depdikbud, 2001), disebutkan bahwa pelestarian rumah Bubungan Tinggi bukan hanya soal menjaga bentuk fisik bangunan, melainkan juga menjaga identitas dan warisan nilai budaya Banjar agar tetap hidup di tengah zaman yang terus berubah.

Editor : Muhammad Robby

Lebih baru Lebih lama