Belajar dari Sulawesi Tengah: Menata Ulang Cara Sumatera Pulih dari Banjir dan Longsor

Andi Setyo Pambudi. Foto-Istimewa

Oleh: Andi Setyo Pambudi 

Setiap bencana besar selalu meninggalkan dua hal: luka dan pelajaran. Sayangnya, tidak semua pelajaran benar-benar dipetik. Gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi yang melanda Sulawesi Tengah pada 2018 adalah salah satu tragedi nasional terbesar dalam satu dekade terakhir. Namun dari peristiwa itulah lahir sebuah upaya serius untuk tidak sekadar membangun kembali, melainkan memperbaiki cara kita memulihkan wilayah pascabencana. Upaya itu diwujudkan dalam Rencana Induk Pemulihan dan Pembangunan Kembali Wilayah Pascabencana Provinsi Sulawesi Tengah.


Bagi Sumatera, terutama wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang berulang kali dilanda banjir dan longsor, dokumen ini layak dibaca sebagai cermin. Bukan untuk disalin mentah-mentah, tetapi untuk dinilai secara kritis. Apa yang sudah tepat, dan apa yang masih perlu dibenahi agar rencana induk semacam ini benar-benar berdampak dan berkelanjutan.


Hal paling menonjol dari Rencana Induk Sulawesi Tengah adalah cara pandangnya terhadap bencana. Dokumen ini tidak menempatkan bencana sebagai kejadian alam yang berdiri sendiri, melainkan sebagai krisis pembangunan. Kerusakan tidak hanya dilihat dari rumah yang roboh atau jalan yang terputus, tetapi dari rusaknya tata ruang, terhentinya ekonomi lokal, melemahnya jaringan sosial, dan terbatasnya kapasitas kelembagaan. Cara berpikir ini penting bagi Sumatera, yang selama ini masih sering memandang banjir dan longsor sebagai peristiwa musiman, bukan sinyal kegagalan pengelolaan wilayah.


Namun, di sinilah sekaligus tantangan besar muncul. Cara pandang yang maju di atas kertas tidak selalu mudah diterjemahkan di lapangan. Relokasi permukiman dari wilayah rawan, pembatasan pemanfaatan lahan, dan koreksi tata ruang kerap berhadapan dengan resistensi sosial dan kepentingan politik jangka pendek. Pelajaran dari Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa rencana induk yang kuat perlu disertai strategi komunikasi publik yang empatik, perlindungan sosial yang memadai, dan keberanian politik agar keputusan berbasis risiko tidak dipersepsikan sebagai kebijakan yang merugikan warga.


Dari sisi penataan ruang, Rencana Induk Sulawesi Tengah patut diapresiasi karena berupaya mengaitkan pemulihan dengan peta risiko bencana. Tidak semua wilayah dibangun kembali di lokasi semula. Ada yang direlokasi, ada yang diperkuat dengan standar bangunan baru, dan ada pula yang ditata ulang fungsinya. Pendekatan ini sangat relevan bagi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, di mana permukiman di bantaran sungai dan lereng curam masih menjadi pemandangan umum.


Namun untuk konteks Sumatera, pendekatan ini perlu dilengkapi dengan satu hal krusial: pengelolaan daerah aliran sungai secara terpadu. Banjir dan longsor di Sumatera tidak bisa dilepaskan dari deforestasi hulu, alih fungsi lahan, dan tumpang tindih kewenangan antar sektor. Rencana Induk Sulawesi Tengah belum sepenuhnya menunjukkan bagaimana tata kelola DAS lintas kabupaten dan lintas sektor dilembagakan secara kuat. Ini menjadi catatan penting jika dokumen serupa ingin diterapkan di Sumatera.


Pada aspek pemulihan sosial dan ekonomi, Rencana Induk Sulawesi Tengah menunjukkan kemajuan dibanding banyak dokumen pascabencana sebelumnya. Pemulihan mata pencaharian, UMKM, nelayan, petani, serta perlindungan kelompok rentan ditempatkan sebagai agenda utama, bukan sekadar tambahan. Pendekatan ini relevan untuk Sumatera, di mana banjir dan longsor kerap menghantam sektor pertanian rakyat dan ekonomi informal.


Meski demikian, agar dampaknya lebih berkelanjutan, pemulihan ekonomi tidak boleh berhenti pada menghidupkan kembali aktivitas lama. Untuk Sumatera, rencana induk pascabencana perlu lebih tegas mengaitkan pemulihan ekonomi dengan transformasi struktur ekonomi lokal. Praktik pertanian konservasi, agroforestri, dan ekonomi berbasis ekosistem harus menjadi bagian dari strategi pemulihan, bukan sekadar wacana. Tanpa perubahan pola produksi, pemulihan ekonomi justru berpotensi mengulang kerentanan yang sama.


Dari sisi kelembagaan, Rencana Induk Sulawesi Tengah telah mencoba membangun koordinasi lintas sektor dan lintas tingkat pemerintahan. Ini merupakan langkah maju, mengingat banyak program pascabencana gagal karena berjalan sendiri-sendiri. Namun tantangan klasik tetap muncul: bagaimana memastikan rencana induk benar-benar menjadi rujukan operasional, bukan sekadar dokumen koordinatif.


Bagi Sumatera, ini berarti rencana induk pascabencana harus memiliki mandat kelembagaan yang jelas. Harus ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab mengawal implementasi, bagaimana keputusan lintas sektor diambil, dan bagaimana pengawasan dilakukan. Tanpa sistem pemantauan dan evaluasi berbasis risiko yang transparan, rencana induk berisiko terfragmentasi menjadi kumpulan proyek sektoral.


Aspek pembiayaan dalam Rencana Induk Sulawesi Tengah juga patut dicermati. Upaya memetakan berbagai sumber pendanaan sejak awal merupakan langkah positif. Namun, keberlanjutan pembiayaan jangka panjang masih menjadi pekerjaan rumah. Untuk Sumatera, rencana induk pascabencana perlu lebih berani mengaitkan pembiayaan dengan insentif pengurangan risiko, seperti pembiayaan hijau, skema asuransi bencana berbasis wilayah, dan integrasi dengan perencanaan pembangunan jangka menengah dan panjang.


Pada akhirnya, Rencana Induk Sulawesi Tengah membawa semangat “build back better and safer”. Namun semangat ini tidak boleh berhenti sebagai slogan. Ia harus diterjemahkan ke dalam ukuran yang konkret: berkurangnya eksposur permukiman di wilayah rawan banjir dan longsor, membaiknya kondisi hulu DAS, meningkatnya kapasitas pemerintah daerah dalam manajemen risiko, serta tumbuhnya kesiapsiagaan masyarakat.

Belajar dari Sulawesi Tengah, Sumatera membutuhkan rencana induk pascabencana yang tidak hanya reaktif, tetapi transformatif. Dokumen yang berani mengoreksi arah pembangunan, bukan sekadar menambalnya setelah rusak.


Jika Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa tragedi besar bisa melahirkan pembelajaran besar, maka Sumatera seharusnya tidak perlu menunggu bencana yang lebih mahal untuk mulai berbenah. Banjir dan longsor yang berulang sudah cukup menjadi peringatan. Tinggal pertanyaannya, apakah kita memilih belajar sekarang, atau terus mengulang siklus yang sama dengan biaya yang semakin tinggi.


Penulis merupakan Perencana Ahli Utama Kedeputian Bidang Pengendalian, Evaluasi, dan Manajemen Risiko Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas

Lebih baru Lebih lama