![]() |
SUARAMILENIAL.ID, BANJARMASIN – Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Kalimantan Selatan menegaskan pentingnya pelayanan publik yang adil dan bebas dari diskriminasi.
Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara Ombudsman Kalsel dan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ULM yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham).
Tujuannya adalah mengidentifikasi kesenjangan perlindungan terhadap ruang sipil dan hak-hak masyarakat di wilayah perkotaan.
Kepala Ombudsman Kalsel, Hadi Rahman, menyampaikan bahwa diseminasi ini merupakan wujud nyata pengawasan terhadap pelayanan publik.
Ia menegaskan, tidak boleh ada perlakuan berbeda dalam pemberian layanan, termasuk perlakuan khusus yang tidak semestinya ataupun ketidakadilan di antara sesama pengguna layanan.
“Ombudsman ingin memastikan pelayanan publik berjalan tanpa diskriminasi. Kami berharap hasil kegiatan ini menjadi referensi dalam penyusunan kebijakan, program kerja, dan penguatan kesadaran masyarakat,” ujar Hadi.
Sementara itu, Kepala Pusham ULM, Prof. Mirza Satria Buana, menjelaskan bahwa kegiatan ini diinisiasi oleh Program BASIS YAPPIKA dan Pusham ULM, dengan pendekatan sosio-legal untuk menelaah dinamika koordinasi serta respons berbagai pihak di Kalimantan Selatan, khususnya Kota Banjarmasin.
Penelitian dilakukan melalui diskusi kelompok terfokus (FGD) dan wawancara mendalam dengan masyarakat sipil. Hasilnya, ditemukan sejumlah isu yang membatasi ruang sipil, antara lain keterbatasan kebebasan beragama, akses ruang publik, kebebasan pers di ruang digital, hingga kriminalisasi terhadap pembela hak asasi manusia di sektor lingkungan.
Isu-isu tersebut, kata Mirza, beririsan dengan tugas dan fungsi Ombudsman dalam memastikan pelayanan publik bebas maladministrasi, terutama di ruang-ruang publik.
Dalam forum yang turut dihadiri sejumlah perwakilan instansi pemerintah dan organisasi masyarakat sipil itu, muncul beberapa rekomendasi.
Di antaranya adalah perlunya kajian ulang terhadap dasar hukum yang membatasi ruang publik, penguatan peran organisasi masyarakat sipil, serta pembentukan forum partisipatif yang melibatkan warga.
Forum ini juga mendorong pendekatan restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana, sekaligus pentingnya sosialisasi kepada masyarakat sipil terkait potensi kriminalisasi dan pemahaman terhadap mekanisme hukum tersebut.
Topik lain yang turut mengemuka adalah pentingnya pengawasan terhadap perlindungan hak-hak pekerja dan peran serikat buruh dalam mendampingi anggotanya yang belum sepenuhnya memahami hak dasar mereka.
Rekomendasi-rekomendasi tersebut diharapkan menjadi pijakan awal untuk langkah konkret dalam memperkuat ruang sipil yang inklusif dan berkelanjutan di Kalimantan Selatan. (*)