Sagu, Nafas yang Bertahan dari Tanah Rawa

Suasana pabrik pengolahan sagu milik M Husta di Desa Anjir Serapat Muara, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Foto-Muhammad Robby/ Suara Milenial

Oleh Muhammad Robby

MARABAHAN — Siang tengah menyengat ketika deru mesin terdengar dari sebuah bangunan kayu sederhana di tepian Sungai Barito. 


Di balik raungan itu, batang-batang rumbia—pohon khas rawa—diproses perlahan menjadi bahan pangan yang semakin jarang dikenal: sagu.


Di desa Anjir Serapat Muara, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, aktivitas pengolahan sagu berlangsung nyaris tanpa henti. 


Beberapa lelaki paruh baya tampak tekun bekerja. Dengan cekatan mereka mengangkat batang rumbia, menyuapkannya ke mesin penggiling, dan mengolahnya menjadi pati sagu. 


Prosesnya masih setengah manual, setia pada tradisi yang diwariskan sejak generasi terdahulu.


Dari empulur pohon yang direndam dan diperas itulah keluar cairan putih keruh—bahan baku sagu yang akan mengendap dan mengering, siap dikemas dan dijual. 


Di tengah dominasi beras sebagai makanan pokok, sagu hadir sebagai alternatif yang pelan-pelan kembali dicari.


Dari Hutan ke Dapur Produksi


M Husta bersama salah satu karyawannya memasukkan batang rumbia ke mesin penggiling, dan mengolahnya menjadi pati sagu. Foto-Muhammad Robby/ Suara Milenial

M. Husta (49), penduduk setempat, sudah satu tahun terakhir mengelola usaha pengolahan sagu. 


Ia memanfaatkan melimpahnya pohon rumbia yang tumbuh liar di sekitar desanya.


“Di sini bahan bakunya masih banyak. Kita tinggal ambil di rawa,” ujarnya saat ditemui di sela-sela aktivitas produksi.


Dengan dibantu hingga lima pekerja, Husta bisa mengolah satu batang rumbia menjadi sekitar enam karung sagu basah. 


Setiap karung berisi 50 kilogram, dijual dengan harga Rp 2.800 per kilogram. Dalam sehari, ia bisa meraup pendapatan hingga setengah juta rupiah.


Pasar untuk sagunya datang sendiri, bahkan dari luar desa. 


“Kadang ada yang datang bawa mobil, ambil dua karung sekaligus,” tuturnya.


Namun, Husta sadar, pengambilan rumbia secara terus-menerus perlu dibarengi upaya pelestarian. 


Dalam sebulan, ia menebang hingga 80 batang pohon. 


“Kalau tidak dijaga, nanti bisa habis. Harus dipikirkan bagaimana caranya tetap lestari,” katanya.


Potensi Besar yang Terlupakan


Pohon rumbia tumbuh liar di kawasan rawa, Desa Anjir Serapat Muara, Kabupate Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Foto-Muhammad Robby/ Suara Milenial


Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, menyimpan potensi besar dalam pengembangan sagu sebagai alternatif pangan pokok selain beras. 


Namun, potensi ini belum tergarap optimal, meskipun wilayah ini memiliki lebih dari 5.200 hektar lahan yang sesuai untuk budidaya sagu (Dinas Pertanian Batola, 2023).


Didominasi oleh bentang lahan basah, rawa, dan gambut, Barito Kuala menjadi habitat alami tanaman rumbia—penghasil sagu—yang dapat tumbuh tanpa pupuk dan pestisida. 


Karakter ini menjadikan sagu sebagai komoditas ramah lingkungan sekaligus efisien secara ekonomi.


Menurut Ketua Pusat Kajian Ekonomi Kreatif dan Kewirausahaan Universitas Lambung Mangkurat, Dr. Hj. Hastin Umi Anisah, diversifikasi pangan berbasis sagu dapat menjadi strategi jangka panjang dalam memperkuat ketahanan pangan nasional, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi lokal yang inklusif.


“Batola adalah wilayah yang sangat potensial untuk pengembangan sagu. Produktivitasnya bisa mencapai 15 hingga 25 ton pati per hektar per tahun, lebih efisien dibandingkan padi di lahan marginal,” ujar Hastin.


Namun demikian, pengembangan sagu memerlukan dukungan kebijakan yang terpadu, teknologi yang memadai, serta pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan. 


Tanpa intervensi ini, potensi sagu berisiko hanya menjadi narasi tanpa realisasi.


Menjaga Ketahanan, Menekan Inflasi


Ketua Pusat Kajian Ekonomi Kreatif dan Kewirausahaan Universitas Lambung Mangkurat, Dr. Hj. Hastin Umi Anisah. Foto-Muhammad Robby/ Suara Milenial

Dalam konteks inflasi pangan yang kerap melanda Kalimantan Selatan, sagu dipandang dapat berperan sebagai penyangga harga dan penyedia pangan lokal yang lebih stabil. 


Harga sagu lokal relatif tidak terpengaruh gejolak pasar global, sehingga lebih dapat diandalkan pada masa krisis.


Data Kementerian Pertanian (2022) menunjukkan, substitusi konsumsi beras dengan sagu sebesar 20 persen mampu menurunkan tekanan permintaan terhadap beras, yang pada gilirannya dapat membantu menstabilkan harga.


Selain itu, biaya produksi sagu terbilang rendah. Tanaman rumbia tumbuh alami di lahan rawa tanpa irigasi, pupuk, atau pestisida. 


Hal ini memberikan keunggulan biaya dibandingkan komoditas pangan lain yang membutuhkan input produksi tinggi (Balitbangtan, 2021).


Dinas Pertanian Provinsi Kalimantan Selatan mencatat, terdapat lebih dari 50.000 hektar lahan rawa yang cocok untuk budidaya sagu. 


Jika sebagian kecil dari lahan tersebut dimanfaatkan, Barito Kuala dapat menjadi lumbung sagu regional yang berperan strategis dalam sistem cadangan pangan.


“Kalau terjadi gagal panen padi, sagu bisa menjadi penyangga yang kuat untuk kebutuhan pangan masyarakat,” kata Hastin.


Motor Baru Ekonomi Daerah


Ratusan batang pohon rumbia yang sudah ditebang berjejer di tepian Sungai Barito, Desa Anjir Serapat Muara, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Foto-Muhammad Robby/ Suara Milenial

Lebih dari sekadar ketahanan pangan, pengembangan sagu juga membuka peluang baru dalam pembangunan ekonomi daerah. 


Sejumlah wilayah seperti Kecamatan Alalak, Tabunganen, Anjir Pasar, memiliki konsentrasi lahan rawa yang dapat menjadi sentra produksi sagu.


Industri pengolahan sagu dinilai mampu menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan petani, serta membuka peluang usaha baru bagi pelaku UMKM di pedesaan. 


Di sisi lain, berkurangnya konsumsi tepung terigu dan beras impor turut memperkuat kemandirian pangan nasional.


Hastin menegaskan, saat ini diperlukan langkah konkret untuk mengangkat sagu dari komoditas terpinggirkan menjadi pilar pangan masa depan. 


Kebijakan yang berpihak, riset terapan, serta pendampingan bagi masyarakat lokal harus berjalan seiring.


“Kita tidak hanya berbicara soal pangan, tetapi juga tentang kedaulatan, ekonomi lokal, dan keberlanjutan lingkungan,” ujarnya.


Kandungan Gizi yang Bersahaja


Potongan batang pohon rumbia yang siap dimasukkan ke dalam mesin penggiling milik M Husta di Desa Anjir Serapat Muara, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Foto- Muhammad Robby/ Suara Milenial

Dari sisi gizi, sagu menyimpan potensi yang kerap diabaikan. 


Berdasarkan data Tabel Komposisi Pangan Indonesia dari Kementerian Kesehatan RI, setiap 100 gram sagu mengandung 355 kalori dan 85,6 gram karbohidrat. 


Kandungan ini mendekati nilai gizi beras, namun dengan karakter yang berbeda.


Sagu memiliki indeks glikemik yang lebih rendah dibandingkan nasi putih. Artinya, sagu lebih lambat diserap tubuh, sehingga tidak langsung menaikkan kadar gula darah. Hal ini menjadikannya alternatif bagi penderita diabetes.


Selain itu, sagu bebas gluten. Ia bisa dikonsumsi oleh penderita penyakit celiac atau mereka yang memiliki intoleransi terhadap tepung gandum. 


Kandungan serat dan pati resisten di dalamnya juga baik bagi kesehatan pencernaan.


Meski kandungan proteinnya rendah, sagu tetap berkontribusi pada keberagaman sumber pangan. 


Rasa Tradisi di Meja Makan Banjar


Ahmad Rafiq, dosen antropologi Universitas Lambung Mangkurat. Foto-Muhammad Robby/ Suara Milenial

Di dapur masyarakat Banjar, sagu tetap hadir—meski bukan lagi sebagai makanan pokok. 


Ia hidup dalam rupa kudapan dan makanan upacara: bubur sagu, putu mayang, amparan tatak, hingga kapurung Banjar.


Ahmad Rafiq, dosen antropologi Universitas Lambung Mangkurat, menyebut sagu sebagai “ingatan kultural” masyarakat pesisir dan pedalaman. 


“Sagu hadir di momen-momen penting seperti haul, maulid, atau saat Ramadan,” ujarnya.


Proses pengolahan sagu yang dulunya dilakukan gotong royong, dikenal dengan istilah karja baimbai, menjadi simbol kebersamaan. 


Kini, meski sebagian besar pengolahan menggunakan mesin, nilai sosial itu tetap hidup dalam narasi kuliner dan keseharian.


Makanan dari sagu tak hanya mengisi perut, tetapi juga memperkuat identitas dan menyambungkan generasi dengan akar budaya mereka.


Penjaga Rawa, Penyangga Iklim


Sayuti Enggok, Sekretaris Tim Restorasi Gambut Daerah Kalimantan Selatan, menilai rumbia sebagai elemen penting dalam konservasi rawa. Foto-Muhammad Robby/ Suara Milenial

Namun sagu tidak hadir sendiri. Ia tumbuh dari rumbia, pohon rawa yang memiliki nilai ekologis penting. 


Sayuti Enggok, Sekretaris Tim Restorasi Gambut Daerah Kalimantan Selatan, menilai rumbia sebagai elemen penting dalam konservasi rawa.


“Akar rumbia kuat menahan tanah dari erosi. Ia menyerap air di musim hujan dan melepaskannya perlahan saat kemarau,” tutur Sayuti.


Rumbia juga berfungsi sebagai penyerap karbon yang efektif di lahan basah. Peran ini menjadi sangat penting di tengah krisis iklim global. 


Ekosistem rumbia adalah rumah bagi keanekaragaman hayati rawa—dari burung air, ikan, hingga mikroorganisme tanah.


Pengembangan rumbia secara berbasis komunitas, lanjut Sayuti, bisa menjadi cara untuk menyeimbangkan antara ekonomi dan ekologi. 


“Kalau dikelola dengan baik, rumbia bisa jadi sumber penghidupan yang juga melindungi lingkungan,” katanya.


Tantangan dan Solusi


Pohon rumbia tumbuh liar di kawasan rawa, Desa Anjir Serapat Muara, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Foto-Muhammad Robby/ Suara Milenial

Meski menjanjikan, pengembangan sagu di Kalimantan Selatan masih menghadapi sejumlah tantangan.


Pertama, teknologi pengolahan yang masih tradisional menyebabkan efisiensi produksi rendah dan mutu produk tidak seragam. 


Diperlukan introduksi mesin semi-mekanis, serta pembangunan pabrik pengolahan sagu skala kecil di sentra-sentra produksi.


Kedua, akses infrastruktur dan logistik masih menjadi kendala. 


Sebagian besar wilayah penghasil sagu di Batola sulit dijangkau saat musim hujan. 


Peningkatan kualitas jalan dan distribusi menjadi kunci agar produk sagu dapat masuk pasar dengan lancar.


Ketiga, kesadaran masyarakat akan manfaat sagu sebagai pangan pokok alternatif masih rendah. 


Survei BPS (2023) menunjukkan 92 persen penduduk Batola masih menganggap beras sebagai makanan utama.


Kampanye konsumsi sagu perlu digencarkan, termasuk melalui kurikulum sekolah, pelatihan UMKM, dan insentif bagi petani maupun pengolah sagu.


Langkah Strategis ke Depan


Suasana pabrik pengolahan sagu milik M Husta di Desa Anjir Serapat Muara, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Foto-Muhammad Robby/ Suara Milenial


Untuk mengakselerasi pengembangan sagu sebagai bagian dari sistem pangan daerah, Hastin menyarankan agar Pemerintah Kabupaten Barito Kuala menjadikan sagu sebagai prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).


Beberapa langkah yang dapat ditempuh antara lain:


Riset dan Pengembangan: Pengembangan varietas sagu unggul yang sesuai dengan kondisi lokal dan berproduktivitas tinggi.


Klaster Industri Terpadu: Pembangunan sentra industri sagu dari hulu (budidaya) ke hilir (olahan).


Sosialisasi dan Edukasi Publik: Kampanye mengangkat citra sagu agar tidak lagi dianggap sebagai “makanan kelas dua”.


Menjaga yang Tersisa


Di tengah dominasi beras sebagai makanan pokok, sagu hadir sebagai alternatif yang pelan-pelan kembali dicari. Foto-Muhammad Robby/ Suara Milenial

Di sudut-sudut rawa Kalimantan Selatan, sagu masih bertahan—menjadi nafas panjang dari tradisi, pangan, dan lingkungan yang terus tergerus modernisasi.


Apa yang dilakukan Husta dan warga lain di Anjir Serapat Muara menjadi bukti bahwa sagu bukan sekadar makanan masa lalu. 


Ia adalah bagian dari masa depan—pangan lokal yang bisa menjadi tumpuan di saat krisis, penjaga ekosistem yang tak banyak bicara, serta warisan budaya yang tetap hidup dalam bentuk paling sederhana.


Sagu bukan sekadar pati dalam karung. Ia adalah cerita tentang daya tahan, tentang alam yang memberi tanpa banyak diminta, dan tentang manusia yang berusaha bertahan tanpa harus meninggalkan jejak yang merusak.

Lebih baru Lebih lama