![]() |
| Foto-Istimewa |
Oleh: Muhammad Indra Kurniawan
Nona, dunia ini memang lama sekali menaruh perempuan di kursi belakang.
Selama berabad-abad, perempuan hanya dihitung dari seberapa patuh ia pada suami, seberapa rajin ia di dapur, seberapa sabar ia melahirkan dan mengubur anak-anaknya.
Maka ketika datang kata baru feminisme orang bersorak, seakan-akan keadilan akhirnya lahir.
Tapi izinkan aku bertanya, Nona: apakah benar keadilan itu datang? Atau sekadar wajah baru dari perbudakan lama?
Kini perempuan memang boleh sekolah tinggi, boleh bekerja, boleh berdiri di mimbar.
Tapi bukankah pada saat yang sama, tubuhnya semakin jadi komoditas?
Namanya dicetak besar di majalah, wajahnya dipajang di iklan, suaranya dijual di panggung. Bebas, katanya. Tapi bebas untuk siapa?
Nona, feminisme yang lahir di tanah barat sering lupa bahwa perempuan di tanah timur ini punya luka dan akar yang berbeda.
Di sini, perempuan bukan hanya melawan patriarki, tetapi juga melawan kolonialisme, kemiskinan, dan feodalisme yang berabad-abad mencengkeram.
Apa gunanya menuntut kesetaraan di atas kertas, bila di sawah perempuan tetap diperas tenaganya, di rumah tetap ditindas kata-kata, di jalan tetap ditatap sebagai benda?
Aku percaya, Nona, kebebasan perempuan bukan sekadar menukar posisi: dari yang dulu diperintah menjadi yang kini memerintah.
Kebebasan sejati adalah ketika perempuan bisa berdiri sebagai manusia penuh, tanpa perlu meminjam ukuran laki-laki, tanpa perlu menjadi tiruan barat, tanpa perlu kehilangan keperempuanan yang sesungguhnya adalah kekuatan.
Nona, jangan mudah terbuai jargon. Jangan cepat puas pada gelar dan undang-undang.
Sebab keadilan tak lahir dari kata-kata manis, melainkan dari keberanian perempuan untuk menolak menjadi bayangan baik bayangan laki-laki, maupun bayangan peradaban asing.
Penulis merupakan Mahasiswa Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin
