SUARAMILENIAL.ID, JAKARTA — Ketua Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah (MLH PP Muhammadiyah), M. Azrul Tanjung, menyampaikan keprihatinan mendalam atas bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera dalam beberapa hari terakhir.
Ia menegaskan bahwa bencana tersebut tidak semata-mata dipicu curah hujan ekstrem, tetapi mencerminkan rusaknya ekosistem di kawasan hulu dan daerah aliran sungai (DAS).
Menurut Azrul, banjir kali ini merupakan kombinasi dari degradasi hutan, alih fungsi lahan yang tidak terkendali, serta pengelolaan tata ruang yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
“Kerusakan daerah aliran sungai sudah lama kami peringatkan. Hilangnya tutupan hutan membuat tanah kehilangan kemampuan menahan air. Ketika hujan deras, limpasan air langsung menuju permukiman,” ujarnya dilansir Republika.
Ia menambahkan bahwa perubahan iklim global ikut memperburuk situasi tersebut.
“Curah hujan tinggi hanyalah pemicu. Akar masalahnya adalah kerusakan ekologis yang tidak ditangani serius,” katanya.
Dorongan Mitigasi Terpadu
Menghadapi kondisi ini, MLH PP Muhammadiyah mendorong pemerintah pusat dan daerah mengambil langkah mitigasi yang lebih sistematis.
Azrul menyebut beberapa langkah mendesak, antara lain restorasi kawasan hulu, rehabilitasi DAS, serta penegakan hukum terhadap pembukaan hutan ilegal.
Ia juga menekankan perlunya sistem peringatan dini yang efektif serta edukasi kesiapsiagaan bencana kepada masyarakat.
“Mitigasi tidak boleh parsial. Negara, masyarakat, akademisi, dan organisasi sipil harus bergerak bersama,” ucapnya.
Perlindungan Hutan sebagai Amanah Keagamaan
Muhammadiyah menilai persoalan lingkungan bukan hanya isu teknis, tetapi juga amanah keagamaan.
Perlindungan lingkungan, menurut Azrul, harus dipandang sebagai prioritas nasional sekaligus bentuk pengabdian kepada Tuhan.
“Hutan primer dan kawasan lindung wajib dijaga ketat. Reforestasi harus dipercepat. Ini bukan hanya untuk kepentingan ekosistem, tetapi juga keselamatan manusia,” ujarnya.
Muhammadiyah, kata dia, akan memperkuat gerakan edukasi lingkungan melalui sekolah, kampus, dan jaringan komunitasnya di seluruh Indonesia.
“Menjaga alam adalah bagian dari perintah agama. Merusak lingkungan berarti mengabaikan amanah Allah, dan bencana seperti ini akan terus berulang,” kata Azrul.
Menutup keterangannya, ia mengajak semua pihak menjadikan bencana Sumatera sebagai peringatan penting untuk memperbaiki tata kelola lingkungan.
“Sumatera memberi kita alarm keras. Saatnya menata ulang cara kita memanfaatkan alam—bukan sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi membangun keberlanjutan,” tegasnya.
Editor : Muhammad Robby
